“Gimana Bu rasanya setelah
berhenti bekerja..”
Saya langsung menjawab
“Lebih banyak waktu luang yang
bisa saya gunakan bermain dengan anak saya”…
Saya pun teringat ‘perjuangan’
saya saat masih bekerja dulu.. Berangkat sebelum pukul 07.00 pagi, pamit ke
Aira yang belum bangun dengan mengecup keningnya. Pulang jam 16.00, terkadang
magrib baru sampai rumah jika ada rapat, badan sudah lelah ingin istirahat..
Namun saat tiba dirumah, Si Aira minta main atau diperhatikan, dan saya
terkadang melayaninya dengan sisa-sisa tenaga yang saya miliki. Betapa
seringnya saya merindukan aira saat jam makan siang tiba, merasa sedih karena
tidak bisa mendampingi anak saya makan siang, tidak bisa menemaninya tidur
siang, mendampinginya bermain, menyiapkan pelukan saat dia sedih ataupun lelah,
menyaksikannya tertawa saat dia bahagia, bahkan pernah menangis diam-diam di
belakang kelas karena rindu dengannya…
Sayapun sering merasa cemburu saat
meninggalkan rumah sedangkan Aira bergelayut manja di gendongan pengasuhnya.
Apalagi saat mengikuti pelatihan di sekolah tempat saya bekerja (mengajar) yang
mengajarkan kami untuk memperlakukan anak didik kami seperti kami memperlakukan
anak kandung sendiri… Tiba-tiba saya merasa tertampar…. Bagaimanakan
perlakuanku terhadap Aira selama ini… Sungguhkan aku memperlakukannya dengan
cara dan waktu yang terbaik… Ataukah justru Cara dan Waktu terbaikku telah
kusediakan untuk yang lain… Apakah saat saya mengajar anak-anak didik saya
dengan telaten dan penuh kesabaran, Aira juga mendapatkan hal yang seperti itu…
Ataukah saya hanya sibuk mencerdaskan anak orang lain sedangkan anakku saya
serahkan kepada pengasuhnya yang notabene tidak pernah mengecap bangku sekolah…
Saya pun sadar… Saya harus memilih.
Berat memang… Dan setiap pilihan pasti memiliki konsekuensi… Ya, saya akan
kehilangan penghasilan, kehilangan komunitas yang positif, kehilangan
kesempatan berkarir yang lebih tinggi, dan kehilangan eksistensi diri -sebab keluarga
dan tetangga masih memandang sebelah mata bagi perempuan yang memilih tinggal
di rumah-. Tapi saya sudah siap dengan semua itu, toh dengan tinggal di rumah, belum
tentu itu terbukti kan…
Sebab saya tidak ingin kehilangan
waktu-waktu berkualitas dengan putri saya yang sedang dalam masa keemasannya,
saya tidak ingin kelak dia lebih mencintai –dekat- pengasuhnya.
Saat itu juga tiba-tiba saya di
vonis oleh dokter dengan penyakit yang mengharuskan saya untuk tidak lelah
secara fisik dan psikis, tidak boleh stress, tidak boleh capek, dan bersuara
terlalu keras (padahal kalau saya mengajar saya harus teriak-teriak). Maka
sayapun semakin mantap dengan pilihan ini…
SAYA PUN BERHENTI…
Beberapa bulan setelah resign
dari tempat kerja saya, sayapun diajak salah satu teman facebook –Dewi Syahraini-
yang sama sekali belum pernah bertemu di dunia nyata. Diapun mengajak saya
untuk bergabung di bisnis dBCN ini (Makasih ya ummiiii…). Dan Alhamdulillah,
konsekuensi yang dulu saya pikir benar-benar hilang itu tak bisa saya dapatkan
ternyata saya rasakan kembali disini. Saya bisa berpenghasilan sendiri meskipun
dari rumah, mendapatkan komunitas yang positif dan selalu semangat, punya
peluang berkarir setinggi apapun yang kita mau -jika berusaha-, dll…
Terimakasih my little Princes
Aydina Ufairah Usman atas cintanya, Abi atas diskusi-diskusi kita saat itu, dBCN
yang hadir dan menjadi jalan untuk mewujudkan impian-impian kami, upline ku –Dewi
Syahraini, Ferasari, Arfiani Rauf- atas semangat dan ilmunya, Mama Bapak di
kampung… Kalian semua telah menjadi inspirator dan sumber semangatku…
Insyallah saya akan buktikan
tahun depan saya BISA menjadi seorang SENIOR MANAGER… Amin…